Pemikiran Estetika di Indonesia

 

PEMIKIR ESTETIKA DI INDONESIA


Pemikir Indonesia terkemuka yang membahas estetika secara spesifik sangat langka, terutama yang berhubungan dengan dunia kesenirupaan. Secara umum pemikiran estetik di Indonesia terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu pertama, pemikir yang menekankan aspek keluhuran budi dan moralitas. Kedua, pemikir yang mengutamakan citra, orisinalitas dan pemberadaban. Ketiga, mereka yang menempatkan estetika merupakan bagian dari makna.

1. Keluhuran budi

   Para pemikir estetika yang menekankan keluhuran budi, selalu berkaitan dengan proses pendidikan manusia untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya, melalui proses penyadaran atau proses pembelajaran. Karya estetis yang benar-benar indah hanya muncul dari manusia yang memiliki keluhuran budi dan kehalusan rasa.

   Penilaian indah atau tidaknya karya, bukan dilihat semata dari artifak yang dihasilkan seperti halnya estetika barat yang materialistis, namun pada perilaku para penciptanya. Dalam kondisi tersebut, sebenarnya estetika yang tumbuh bukanlah terbelakang dan tidak  modern, namun bersifat transendetal,  maksudnya bersifat abstrak, kerohanian dan sukar dipahami karena ungkapan fisiknya tidak penting dan yang penting bagaimana imbasnya pada pembentukan watak satu generasi yang memiliki karakter sensitive terhadap keindahan.

a.    Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

   Gagasan – gagasan dari Ki Hajar Dewantara, memiliki sumbangan besar pada landasan filosofis nilai-nilai estetik di Indonesia. Terutama keberpihakannya pada nilai-nilai luhur teradat yang harus menjadi landasan kebudian manusia Indonesia. Didalam ide-ide pokok nya telah memiliki nilai-nilai keluhuran budi yang berkaitan dengan pendidikan manusia seperti yang diucapkan oleh Ki Hajar Dewantara didalam pidatonya yaitu Pendidikan generasi muda bukan hanya untuk mengembangkan jiwa raga saja, tetapi juga mengembangkan kebudayaan nasional. Oleh karena itu, cita-cita pendidikan nasional tetap harus berdasarkan adat istiadat. Pendidikan, bagi murid taman siswa adalah satu cara untuk menerima warisan kebudayaan bangsa dari para leluhur serta pendidikan nasional semacam ini, memiliki prinsip mendidik, menghormati tradisi bangsa untuk kemajuan nasional, memperluas peluang untuk bersekolah, tidak menerima bantuan yang mengikat, hidup sederhana dan hemat, serta mendidik dengan kesunggguhan hati dan ikhlas.

   Dan Ki Hajar Dewantara juga menyusun istiadat yang dikenal dengan sebagai asas Panca Darma di tahun 1947. Didalam itu, Ki Hajar Dewantara mengungkapkan pentingnya memberikan kemerdekaan yang leluasa, tetapi dibatasi oleh tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju kearah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia agar kebudayaan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup masyarakat. Prinsip pendidikan Taman Siswa mengarah kepada system pawiyatan yang dimodernkan, maksudnya memiliki fungsi atau pondok dalam  kebudayaan Jawa yang dipahami sebagai kelompok cendikiawan yang bertradisi Jawa. Hal inilah yang justru mendapat simpati dari masyarakat Jawa yang diterima bukan karena unsur kemodernanya, melainkan ide pendidikan Jawanya yang menekankan aspek kehalusan, tidak tercemar, aman dan seimbang. Ide akan kehalusan dan keseimbangan itulah yang sebenarnya mendasari estetika yang diharapkan terserap pada pribadi-pribadi anak didik untuk budi pekerti luhur dan juga keseimbangan antara keterampilan dengan kecerdasan.

   Runtuhnya nilai kebudian generasi diakhir abad ke-20 di Indonesia, disinyalir karena pendidikan estetik di tingkat dasar tidak dijalankan dengan bersungguh-sungguh. Nilai estetik dihancurkan kedayaannya melalui kehidupan yang semata rasional dan berorientasi dunia. Dengan menyerap kembali ide dasar dari pendidikan mahasiswa, system pendidikan nasional anak bangsa mulai ditata ulang sehingga keluhuran budi tetap merupakan unsur kunci dalam penyelenggara pendidikan.

b.      Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962)

   Meskipun tidak secara langsung mengupas keindahan, namun gagasannya tentang estetika menekankan agar mendidik dan kesenangan pada barang-barang yang indah, serta mengerti semua barang yang indah. Filsafat keindahan Ki Ageng Suryomentaram bertitik tolak dari pendekatan dikotomis antara yang indah dan yang kurang indah, maksudnya memisahkan kelompok mata pelajaran agama dan mata pelajaran umum untuk disampaikan peserta didik di sekolah atau madrasah.

   Bagi Ki Ageng Suryomentaram, kicauan burung dipagi hari terdengar sangat indah dan suara petir dipandang juga sebagai suatu keindahan tersendiri. Pelangi itu indah dan awan gelap itu juga indah. Buah jambu yang manis indah dan buah menteng yang masam itu juga indah. Dalam memandang keindahan, manusia harus terbebas dari pemikiran rasa senang atau rasa benci, karena rasa semacam itu akan menutup keindahan sebenarnya. Bagi Ki Ageng Suryomenataram, segala sesuatu itu mengandung sifat indah sesuai dengan makna, fungsi dan keberadaanya. Segala sesuatu itu menjadi buruk, Karena dalam pikirannya manusia memandang segala sesuatu itu dengan rasa kebencian. Bahkan gadis yang cantikpun menjadi buruk, ketika ia berbuat asusila, suatu lukisan yang amat sempurna menjadi buruk, karena kita iri hati melihat keberhasilan pelukisnya.

   Jadi menurut Ki Ageng Suryomentaram, dalam memandang suatu karya atau barang itu harus terbebas dari pikiran yang baik dan buruk, karena dengan adanya pikiran seperti itu disaat memandang karya atau barang akan memunculkan nilai yang tidak orisinal atau murni dalam mengapresiasi karya atau barang tersebut. Ki Ageng Suryomentaram mengajurkan seorang apresiator itu harus terbebas dari rasa  kebencian terhadap karya yang akan kita lihat. Karena objek estetik adalah cermin dari diri kita sendiri, semakin keinginan kita besar dalam mengkritik objek estetik maka semakin besar pula kita melihat keindahan itu cacat.

   Gagasan-gagasan Ki Ageng Suryomentaram, hakikatnya menyadari akan pentingnya spirit pada global hingga local yang kemudian menjadi wacana kesenian Indonesia diakhir abad ke-20, serta mengharapkan terjadinya kebudayaan batin dunia yang dibentuk oleh kedayaan local setiap bangsa. Disamping itu, Ki Ageng Suryomentaram juga memiliki gagasan-gagasan yang lebih maju dizamannya, seperti halnya gagasan nilai estetik modern yang tidak hanya berorientasi pada keindahan yang cantik, tetapi juga pada makna yang diakibatkan oleh suatu ekspresi yang buruk, menakutkan, menjijikan, menciptakan kemarahan ataupun serba tak nyaman.

   Ki Ageng Suryomentaram memandang hidup secara dingin penuh kepasrahan, semuanya dinilai sebagai sebuah hikmah yang bermanfaat dan membahagiakan. Baik, indah, dan buruk, tidak dipandang sebagai suatu hal yang negative dan menyengsarakan. Hidup dipandang sebagai suatu kebahagian apapun kondisinya. Demikian pula estetika, kedayaannya terletak pada cara manusia memandang, sesuatu yang cantik dapat pula menjadi amat buruk karena kita memandangnya dengan penuh kebencian, segala yang buruk akan terlihat indah ketika kita memandangnya dengan kebahagiaan.

c.    Driyarkara (1913-1967)

     Dalam rangkaian padangan Driyakarya manusia bukanlah sosok makhluk yang sekadar berada dalam dunia, melainkan makhluk yang menjadi satu dengan dunia. Namun, manusia juga memiliki eksistensi karena itu manusia mengaktivasi, membentuk dan membangun dunianya. Dengan demikian, segalanya merupakan upaya untuk menjunjung alam jasmani ke dalam ketinggian eksistensinya.

     Manusia memiliki kebutuhan akan keindahan sebagai bagian dalam memenuhi eksistensinya, manusia mulai menyadari akan nilai-nilai estetik dan cita rasa. Manusia juga memiliki rasa bosan, juga berbagi keinginan dan menginginkan sesuatu yang lebih baik melalui usaha-usaha yang dilakukannya sendiri. Upaya ini semakin hari semakin kompleks dan semakin maju, situasi dan hasil yang ingin dicapai kemudian disebut sebagai keadaban.

     Gagasan-gagasan estetik oleh Driyarkara, selalu bermula dari manusia sebagai pusat pelaku yang biasaya berupaya untuk menjasmani atau menduniakan diri. Karya-karya seni ataupun desain, dinilai sebagai upaya manusia untuk membangun dunianya lebih baik yang nyaman dan akhirnya tenggelam.

     Bagi Driyarkara estetik dapat dipandang sebagai satu fenomena manusia untuk meningkatkan kejasmanianya, namun juga dipandang sebagai sebuah pilihan yang semakin menjerumuskan ke dalam kehidupan dunia. Dalam paparan tersebut, Driyarkara meyakinkan dengan adanya estetik manusia menjadi tenggelam yang berarti menikmati dunia atau terlalu cinta dengan dunia sehingga manusia terjerumus didalamnya pada kenikmatan yang membuatnya menjadi arogan terhadap dunia.

 2. Citra dan Orisinalitas

Dalam memahami mengenai dunia estetika tidak cukup hanya dengan aspek bagaimana menyadari apa itu keindahan, namun juga perlu ditingkatkan pada upaya-upaya memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Citra dapat membangun nilai-nilai estetis lebih bermakna untuk menjadi tanda-tanda peradaban sebuah bangsa. Orisinalitas menjadi bagian yang tak dipisahkan dalam  mewujudkan nilai-nilai estetik. Hal itu sebagai tingkat pedalaman proses penciptaan yang dilakukan oleh seorang seniman atau desainer. Unsur kebaruan yang menyertai orisinalitas suatu karya amatlah penting untuk membangun citra dan eksistensi suatu nilai hadir ditengah-tengah kebudayaan. 

a.       YB. Mangunwijaya (1929-1998)

Dalam paparanya, Romo Mangun memiliki gagasan-gagasan penting mengenai estetika, yang secara khusus disebut dengan citra. Menurutnya citra merupakan dimensi yang lebih tinggi dibanding guna, dimensi ini bersumber pada jatidiri yang mendalam dan berkualitas. Dan berhubungan dengan gambaran imajinasi perancang karya dengan penuh penghayatan dalam membuat karya hingga mendapatkan kesan arti bagi penikmatnya.

Romo Mangun berkeyakinan bahwa arti estetis tidak dapat dipahami dari nilai luarnya, tetapi juga harus memahami nilai realitas sebenarnya yang mendalam. Hal itu disebabkan keindahan hanyalah kecerlangan dari kebenaran. Benar untuk saatnya, dan tempatnya yang tepat. 

b.      Achmad Sadali (1924-1987)

Gagasan-gagasan Sadali mengenai estetika berkembang sejalan dengan waktu, namun gagasan-gagasanya diadopsi dari kesadaran nilai keagamaan yang tinggi. Secara mendalam, Sadali mengungkapkan nilai estetika sebagai wujud nilai karya budaya, tidak terlepas dari dua hal pokok yaitu orisinalitas dan identitas, karena peniruan ataupun publikasi amtlah tidak pantas dalam dunia kesenian. Tanpa orisinalitas dan identitas, karya seni yang dihasilkan tidak memiliki makna dalam kenyataan hidup berbudaya.

 3. Budaya yang Hidup

        Citra perbedaan suatu bangsa lebih bisa diamati melalui kualitas estetika artifak yang ditinggalkannya dibandingkan dengan skala waktu dan pencapaian-pencapaian budaya yang sejalan. Nilai estetika sesaat yang menyertai peradaban dapat dikategorikan kurang memiliki kedayaan yang tinggi, namun nilai estetika yang membudaya dan berlangsung selama berabad-abad membuktikan tingkat kedayaan dan kejayaan dalam menghadapi waktu.

a.       Sutan Takdir Alisyahbana (1908-1996)

Menurut Sutan Takdir, berbicara menilai tentang estetika Indonesia dalam masyarakat dan kebudayaan yang sedang tumbuh, tentu perlu mengkaji lebiih dahulu tentang perkembangan seni yang ada di Indonesia sejak dahulu. Sutan Takdir menilai sejarah bangsa Indonesia yang panjang tak melahirkan agama-agama yang besardan mempengaruhi berbagai wilayah dunia yang luas.

Sutan Takdir juga menganggap bahwa Indonesia  adalah bangsa yang menerima sehingga bangsa Indonesia tidak menyumbangkan Filsafat yang mendalam yang dapat mempengaruhi terhadap munculnya ilmu pengetahuan yang baru. Namun, beliau masih percaya bahwa estetika memiliki kedayaan. Dalam menghadapi dunia yang semakin modern, tingkat kedayaannya harus ditambah melalui asimilasi dengan ilmu pengetahuan dan pertimbangan ekonomi sehingga nilai estetika yang dimasa akan datang tetap memiliki peran yang penting dalam peradaban bangsa. 

b.      Dick Hartoko (1924-2001)

Bagi Dick Hartoko, pengalaman estetika ini penting untuk memahami keindahan karena pada saat itu dalam diri manusia timbul perasaan tenang, tentram, terpesona, kagum, terpukau, merasa kecil namun juga merasakan keselarasan dan keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Kontemplasi seperti ini umumnya hampir terjadi pada setiap orang, namun demikian objek estetik yang mengunggah setiap individu itu tentu amat berbeda beda tergantung pada daya apresiasi dan pengalaman dalam memahami fenomena estetik.

Disisi lain Dick Hartoko juga mengamati bahwa pengalaman estetik memiliki kedayaan yang luar biasa dalam membentuk manusia modern. Melalui pengalaman estetis tersebut manusia dapat terbuka matanya terhadap kenyataan, bukan hanya kenyataan matematis, namun juga kenyataan puitis. Kedayaan nilai estetis diyakininya dapat berperan dalam pendidikan kreatif yang membentuk masa depan. Aspek kehalusan budi harus tetap terbina saat masyarakat semakin modern melalui pendidikan kebudian itulah manusia akan menyadari makna nilai estetis yaitu melihat sesuatu tidak secara jasmaniah, nilai secara batiniah. 

c.       Umar Kayam

Gagasan Kayam tentang estetika umumnya ditempatkan didalam konteks transformasi budaya. Kajiannya dilakukan melalui pengamatan nilai-nilai estetik di wilaya Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia, negara yang mengalami proses kolonialisasi menurut Kayam

Pembentukkan nilai-nilai estetik diwilayah ini merupakan pemilihan kembali warisan atau percobaan menemuka bahan pokok baru yang disebutnya sebagai upaya mencari kesepakatan idiom, dan ini pula disebut sebagai proses interaksi nasional.

     Pandangan-pandangan Kayam mengenai estetika merupakan sudut pandang yang meyakini terdapatnya kedayaan social pada seni tradisi dan komunitas seni yang sedang mengalami perubahan. Masuknya budaya Barat kearah kosmos budaya tradisi, menyebabkan nilai-nilai estetik masyarakat Indonesia akan semakin cepat mengalami Mutasi, apakah kearah peningkatan nilai atau justru sebaliknya menjadi dangkal. Kondisi ini oleh Kayam tetap dianggap sebagai sebuah peradaban, seperti halnya kebudayaan Jawa, asli berubah menjadi kebudyaan Jawa Hindu-Budha bebrapa abad yang lampau. Hal ini secara ekstrem terjadi pula dilingkungan tradisi di berbagai wilayah di Indonesia.

4.      Kebudayaan Yang Membumi

Kedayaan nilai estetik tidak hanya dapat diamati sebagai upaya manusia untuk membangun citra ataupun kontemplasi terhadap kosmos, tetapi juga dapat dipahami sebagai upaya manusia untuk membumi. Kepedulian terhadap kenyataan di sekitar merupakan wujud lain kedayaan nilai estetik untuk memahami dunia.

a.       S. Sudjojono (1913-1986)

   Menyerukan pentingnya Nasionalisme, meskipun pengungkapannya internasional (universal). Estetika kejuangan memiliki analogi dengan estetika Camus (memberontak) dan Freire (pembebasan). Untuk menjadi seorang pengungkap nilai estetik dalam berkesenian yang terpenting adalah watak.

     Sudjojono mengkritik  para seniman yang hanya berani mengungkapkan segala sesuatu yang indah-indah, yang dikemas dalam estetik yang cantik dan kesenangan dunia melali gaya romantic. Seniman yang seperti itu dinilai oleh Sudjojono adalah seniman yang hanya membuang waktu luang karena baginya tidak memiliki nilai sebab tak memiliki jiwa nasionalis.

     Konsep estetika Sudjojono tetap konsisten dengan jiwa perjuangan yang pada masanya amatlah popular dan menjadi jargon politik nasional. Dalam pengamatan lain Sudjojono juga tetap peduli dan memiliki keberpihakan pada realitas hidup rakyat sehari-hari yang terbelenggu oleh kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam situasi ini nilai-nilai estetik haruslah memasyarakat, berpihak kepada rakyat kebanyakan, ikut dalam perjuangan bangsa dan ikut dalam kritis terhadap kekuasaan yang dinilai menyimpang.

b.    Sanento Yuliman  (1936-1994)

Menurut Sanento Yuliman, pengetahuan akan ragam kode dalam karya seni akan membuat para pengamat semakin kaya batinnya dan mempertinggi mental apresiator kepada tingkat kepemahaman yang lebih tinggi. Bagi masyarakat seni rupa pemikiran oleh Sanento Yuliman tentang estetika berorientasi pada proses pembaharuan

Pandangan-pandnagan Sanento Yuliman tentang estetika yang tak kalah penting adalah kritik terhadap masyarakat seni rupa sendiri yang masih memandang estetika seperti pada masa abad pertengahan. Pada kondisi tersebut, estetika cenderung dipandang pada asal katanya yaitu cerapan inderawi.

5.    Historisitas

Dalam historisitas ulasannya masih terdapat upaya memberi gagasan-gagasan baru dalam pengamatan estetika, melalui pemaparan hubungan antara seniman-karya dan seni apresiatornya. Dan pada kelompok ini juga membahas garis besar wawasan sejarah estetika dari berbagai daerah, khususnya dari kebudayaan barat dari masa Yunani hingga ke masa modern. 

a.         The Liang Gie

Menurutnya, karya estetis adalah kumpulan segenap kegiatan budi pikiran seorang seniman yang secara mahir mampu menciptakan suatu karya sebagai pengungkapan perasaan manusia. Hasil ciptaan kegiatan itu adalah suatu kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat ekspresif serta termuat dalam suatu medium inderawi. Gagasan terpentingnya adalah kesadaran akan kedayaan estetika sebagai upaya untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Dengan demikian kehidupan budaya ini dibawa ke arah nilai-nilai yang lebih manusiawi.

b. AAM Djelantik

Cenderung mengadopsi cara pandang estetika klasik yang memandang estetika menjadi dua kelompok besar yaitu keindahan alami dan keindahan yang dibuat oleh manusia. Pengalaman esthetic experience tercapai jika didalam diri manusia terbangun rasa puas, senang, rasa aman, nyaman dan bahagia. Dalam proses apresiasi karya estetik, dibagi menjadi tujuh bagian yaitu sensasi, persepsi, impresi, emosi, interpretasi, apresiasi dan evaluasi.

Melalui pemahaman nilai-nilai estetik tersebut, diharapkan oleh AAM Djelantik agar tersusun secara runtut dalam proses pemahaman estetika dan objek estetik. Meskipun yang digagas oleh Djelantik merupakan gagasan estetika konvensional, namun beberapa pemikirannya menerawang ke depan dan konsisten untuk mengangkat nilai-nilai estetika Timur, yang oleh pemikir lainnya yang kurang teramati.

6.      Mencumbui makna.

Pengaruh pendidikan modern, yang sebagian diantaranya memperoleh pendidikan di negara-negara barat. Sehingga memperoleh informasi mutakhir mengenai orientasi pemikiran estetika di negara-negara ini. Para pemikir generasi baru ini mulai dipertimbangkan gagasan-gagasannya, karena pemahamannya pada wacana estetika kontemporer sejalan dengan praksis dalam berkesenian kaum seniman di Indonesia. 

a.       Mudji Sutrisno

Pengalaman estetis hakekatnya melibatkan pengamatan inderawi yang sekaligus melibatkan unsur dalam “diri” manusia ikut terbawa oleh pengamatan itu, jiwaraga, dengan segala indera dan kemampuan lainnya. Agar pengalaman estetis dapat berkembang dalam diri manusia, perlu sikap dalam diri pengamat yang disebut the aesthetic attitude. Sedangkan obyek estetis merupakan satu bagian integral dari pengalaman dan perhatian estetis. Mudji menilai titik pangkal pengalaman estetis terletak pada pengamatan inderawi.

b.      Tommy F. Awuy

Kedayaan estetik suatu karya seni tetap merupakan potensi yang besar dalam wacana kebudayaan. Seni memiliki potensi yang setara dengan ekonomi, politik, teknologi bahkan agama. Dalam proses pembanguanan yang dijalankan, potensi seni yang begitu besar itu didominasi oleh wacana ekonomi, politik dan teknologi.

Awuy menekankan gambaran yang begitu dominanya ekonomi, politik, dan teknologi, termasuk pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan kesenian. Karena hal ini akan jelas hasilnya, ekonomi yang hanya akan menciptakan manusia menjadi karakter yang rakus, politik hanya akan menciptakan manusia yang penindas, dan teknologi yang hanya akan memunculkan manusia yang pemalas selalu akan ketergantungan pada mesin. 

c.       Yasraf Amir Pilliang

Mendudukkan estetika sebagai sebuah wacana yang mengalami pergeseran penting sejak terbangunnya masyarakat pasca industri dan dari kebudayaan modern bergeser menjadi kebudayaan Posmodern. Obyek estetik yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan fenomena modernisasi, pada masyarakat sekarang, obyek estetik didefinisikan kembali dengan kode-kode baru, dengan bahasa estetik baru dan dengan makna-makna yang baru.

     Yasraf amat menyadari bahwa dunia estetik menmiliki kedayaan besar membentuk dunia baru. Dan menyatakan bahwa teori-teori estetika klasik yang berisi romantisme keindahan telah runtuh, karena estetika komoditas dan estetika digital kini mulai menjadi status baru atau agama baru dikalangan masyarakat dunia. Jadi, dengan kedayaannya dapat mengubah tatanan social dan menjungkir balikkan tanda-tanda peradaban.


Posting Komentar

0 Komentar